Salah satu kunci sukses QNET di industri direct selling adalah tersedianya pusat dukungan layanan dengan berbagai bahasa. Maka jangan heran jika kamu berkunjung ke Qi Tower di Petaling Jaya, Malaysia, kamu akan menemukan berbagai wajah dari berbagai ras di dunia bekerja di departemen Global Support Center (GSC) mulai dari Rusia, Kazakhstan, Turki, Indonesia dan lainnya. Fenomena ini menjadi daya tarik sekaligus identitas QNET sebagai perusahaan yang sangat menghargai diversitas.
Indonesia merupakan salah satu pasar terbesar dan terpenting bagi QNET, sehingga memiliki staf yang bekerja di departemen tersebut untuk mengurus segala keluhan dan pertanyaan dari Indonesia menjadi suatu kebutuhan. Satu-satunya orang Indonesia yang bekerja di departemen adalah seorang wanita bernama Ria Widayati. Wanita asal Jogjakarta itu telah bekerja di departemen GSC kantor Malaysia selama lebih dari 7 tahun.
QNET Indonesia berhasil menemui dan mewawancarai Ria untuk menggali lebih dalam kisahnya bekerja di negeri jiran.
Sejak kapan kamu bekerja di QNET Malaysia?
Saya mulai kerja dari Oktober 2011.
Bagaimana kamu bisa dapat informasinya?
Saya tahu QNET dari contact center. QNET kan perusahaan besar, di bagian contact center ada banyak bahasa yang diperlukan. Kebetulan pasar Indonesia sedang tinggi dan mereka perlu pembicara dari Indonesia. Saya coba masukkan lamaran dan diterima.
Bagaimana ceritanya kamu bisa bekerja di Malaysia?
Dulu saya bekerja di Axiata di Jogjakarta sebagai customer service. Waktu itu di perusahaanku ada program cross country training dan dikirimlah 11 orang Indonesia untuk training di sini (Malaysia) selama enam bulan. Saya melihat peluang bagus untuk contact center di sini.
Saat itu ada walk in interview di QNET dan mereka banyak mengambil foreign speaker dari perusahaan outsource. Dari situ QNET sering posting di website bahwa mereka membutuhkan speaker. Setelah jalani interview, saya berhasil diterima.
Apa sih yang menarik bekerja di kantor QNET Malaysia yang notabene di negeri orang?
Yang pertama diversity, apalagi di kantor ini melayani 70 bahasa dan ada sekitar 50 nationality. Di sini saya jadi mengenal karakter tiap orang dari berbagai negara.
Lalu, pengetahuan saya tentang direct selling jadi bertambah dari yang sebelumnya saya tidak tahu. Di sini juga ada banyak event, dan saya senang berinteraksi dengan banyak orang.
Apa bagian yang tidak enaknya?
Terbentur dengan tradisi orang lain. Ternyata tidak semua orang punya tradisi yang sesuai dengan kita. Apa yang kita anggap biasa ternyata sangat sensitif bagi mereka. Terutama kantor yang pekerjanya dari berbagai negara mesti sangat hati-hati. Contoh sederhana masalah sendawa, buat orang Indonesia mungkin hal yang biasa. Tapi di sini jadi suatu hal yang sangat tabu. Kita sendawa di depan umum bisa membuat orang marah.
Kemudian, kalau kita suka sesuatu kita biasanya kasih jempol (thumbs up) tapi buat orang Iran sama dengan kita kasih jari tengah. Itu baru hal yang simple belum hal yang besar.
Terus, semua harus dilakukan sendiri. Saya nggak punya keluarga di sini. Waktu pertama kali ke sini saya benar-benar datang sendiri dan dijemput di airport.
Apa saja yang kamu kerjakan di departemen GSC?
GSC ini unik jadi kami harus bisa multitasking. Kalau ngomong basic kerjaan ya sama seperti contact center lainnya ya telepon, email, livechat. Tapi karena saya sudah termasuk senior sudah lebih dari tujuh tahun, saya juga ada kerjaan QA (Quality Assurance), saya menganalisa kerjaan tim.
Telepon dan livechat sudah jarang, paling kalau memang dibutuhkan. Selain itu, saya juga interaksi dengan leader-leader dari Indonesia. Tapi tugas utama pekerjaanku sekarang lebih ke audit.
Di masa awal bekerja di Malaysia, menurut kamu hal apa yang paling sulit adaptasi?
Yang paling sulit bahasa. Di sini masyarakatnya lebih sering pakai bahasa Inggris dan bahasa Malaysia. Bahasa Malaysia saya tidak lancar dan bahasa Inggris pun tidak lancar. Tapi lama-lama saya terbiasa.
Enaknya karena orang di Malaysia lebih sering pakai bahasa Inggris jadi mereka pede (percaya diri -red). Mau salah atau nggak, tetap pede. Misal ada salah grammar dalam bicara mereka akan koreksi. Bahasa itu bukan sesuatu yang harus ditakuti. Berbeda dengan di negara kita biasanya orang sudah khawatir duluan karena takut salah.
Setelah mengenal karakter orang, saya bangga jadi orang Indonesia. Setelah belajar dari banyak negara, saya jadi lebih mengenal kelebihan dan kekurangan setiap orang dari berbagai negara. Orang Indonesia seperti saya lebih mudah beradaptasi dengan banyak orang atau istilahnya ‘no drama’ dan lebih paham orang lain. Dan karakter ini yang buat saya jadi lebih mudah bercampur dengan mereka.
Seberapa sering kamu mengalami homesick?
Wah..pastinya sangat sering, karena saya termasuk person who enjoys home life. Berkumpul bersama keluarga adalah nikmat yang tidak bisa dibeli.
Bagaimana cara mengatasinya?
Menyempatkan diri untuk berkomunikasi dengan keluarga. Kalau soal rindu makanan, saya beruntung mempunyai ibu yang mengajarkan saya masak dari dulu. Pesan beliau, skill itu nantinya akan dibawa kemanapun. Jadi saat rindu masakan tanah air, tinggal cari resep dan masak sendiri.
Berapa kali kamu pulang ke rumah dalam setahun dan berapa lama menghabiskan waktu di rumah?
Biasanya 3 kali dalam setahun, saya menghabiskan waktu sekitar 9 hari di rumah.
Saat harus kembali ke Malaysia, apakah kamu merasa berat meninggalkan keluarga lagi?
Ya, pasti itu! Pamitan adalah hal yang terberat, karena saya harus kembali menguatkan dan menetapkan hati untuk sesuatu yang lebih baik.